Krisis Ekonomi Indonesia 2020, Apakah Sama Menakutkannya Dengan yang Terjadi Pada Tahun 1998 dan 2008?

Tahun 2020 merupakan tahun yang berat bagi semua bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Bukan saja dari aspek kesehatan, perekonomian negara pun digonjang-ganjing oleh pandemi virus COVID-19. Indonesia pernah mengalami dua krisis ekonomi yang dipengaruhi kondisi perlambatan global pada 1998 dan 2008 dalam bentuk, skala, penyebab dan situasi yang berbeda. Namun, ketiga krisis ini memiliki dampak yang hampir sama: PHK, pengangguran, penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) dan sebagainya.
1998

Sekitar 22 tahun yang lalu, Indonesia mengalami krisis ekonomi yang awalnya disebabkan oleh merosotnya nilai tukar mata uang Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Depresiasi Rupiah tersebut disebabkan oleh efek berantai gejolak nilai tukar mata uang Thailand, Baht, yang dipicu oleh serangkaian aksi spekulasi. Faktor utama penyebab krisis 1998 ini adalah krisis keuangan regional Asia akibat utang masif swasta yang jatuh tempo. Terjadi rush money akibat ketidakpercayaan pasar dan dunia usaha.
Nilai tukar Rupiah yang merosot bahkan hingga 80% tersebut mengguncang korporasi yang memiliki pinjaman dalam mata uang dolar AS. Banyak perusahaan mengalami kebangkrutan karena nilai utangnya membengkak.
Di saat yang bersamaan, Indonesia mengalami krisis politik pada saat itu. Banyak pihak mendorong turunnya Soeharto sebagai Presiden Indonesia setelah berkuasa lebih dari 32 tahun. Soeharto akhirnya turun dari takhtanya pada Mei 1998.
Strategi penyelamatan krisis 1998 melalui bail out dalam bentuk Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia terhadap 16 Bank senilai total Rp670 triliun hingga mereformasi UU kebebasan pers dan kebebasan HAM. Soeharto dipaksa bertekuk lutut menandatangani Letter of Intent dengan IMF terkait pemberian paket bantuan (pinjaman) multilateral bertahap senilai US$43 miliar melalui Memorandum of Economic and Finance Policies.
Krisis ekonomi saat itu mengakibatkan banyak perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan. Menurut data Bank Indonesia, jumlah pengangguran penuh dan pengangguran tidak penuh mencapai 13,7 juta orang sepanjang 1998.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 13,8% (PDB berkisar Rp955,63 triliun) sepanjang tahun 1998, rasio utang negara 57,7% terhadap PDB. Inflasi melonjak hingga 77% atau tertinggi dalam beberapa puluh tahun terakhir. Kurs rupiah terhadap dolar AS anjlok hingga 254% dari level Rp3.030 (September 1997) ke level Rp10.725 (September 1998), bahkan menembus level Rp16.000. 1998 adalah salah satu periode terburuk dalam sejarah Indonesia modern.
2008

Faktor penyebab resesi global 2008 terletak pada kredit macet perumahan AS (subprime mortage crisis) dan meroketnya harga minyak dunia. Kenaikan harga minyak per barel mencapai titik rekor tertinggi pada Juli 2008 (US$147,50 di London dan US$147,27 di New York). Kenaikan drastis harga
minyak mentah dunia berimplikasi serius terhadap beban APBN untuk menanggung subsidi energi.
Berdasarkan data Kemenkeu RI, anggaran subsidi energi pada APBN-P 2008
benilai total Rp187,1 triliun (subsidi BBM Rp126,8 triliun dan listrik Rp60,3 triliun), atau melonjak 70,5% dari APBN 2007. Secara ekonomi dan politik, menaikkan harga BBM bukanlah langkah yang tepat karena bisa memicu inflasi.
Fundamental ekonomi Indonesia pada tahun 2008 lebih baik dibandingkan dengan 1998. Pertumbuhan PDB mencapai 6,1% senilai Rp4.954 triliun, rasio utang negara 33% terhadap PDB, nilai tukar rupiah berkisar Rp9.036-Rp11.244 per dolar AS, dengan tingkat SBI berkisar 8,0%-9,5%.
2020
Sementara itu, situasi berbeda terjadi pada 2020 dimana Indonesia mengalami krisis kesehatan akibat penyebaran virus corona. Apabila pada 1998 krisis moneter dialami oleh negara-negara Asia, krisis kesehatan pada 2020 dialami oleh lebih dari 200 negara di dunia dimana jutaan orang meninggal akibat virus ini.
Krisis kesehatan mendorong pemerintah di banyak negara membuat kebijakan lockdown. Pemerintah Indonesia sendiri membuat kebijakan bernama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang membatasi banyak aktivitas ekonomi masyarakat.
Kebijakan PSBB serta seruan untuk lebih banyak beraktivitas di rumah membuat ekonomi terkontraksi. Pada kuartal I/2020, pertumbuhan ekonomi turun hingga 2,97%. Pada kuartal II/2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi yang cukup dalam, yakni mencapai 5,32%. Hingga akhirnya pada kuartal III/2020, Indonesia resmi mengalami resesi ekonomi setelah mengalami penurunan kembali hingga 3,49%.
Krisis kesehatan akibat corona juga membuat banyak perusahaan mem-PHK atau merumahkan karyawannya karena tidak lagi dapat beroperasi secara normal. Guncangan akibat corona juga dirasakan oleh usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Berdasarkan data Kemnaker per 1 Mei 2020, jumlah pekerja sektor formal yang telah dirumahkan akibat pandemi corona telah mencapai 1.032.960 orang. Sementara itu, jumlah pekerja sektor formal dan informal yang di-PHK sudah mencapai 689.998 orang. Dengan demikian, total pekerja sektor formal dan informal yang terdampak corona sebanyak 1.722.958 orang.
Sejumlah lembaga memperkirakan pemulihan ekonomi di berbagai negara, termasuk Indonesia, dapat terjadi pada 2021. Sebagian pihak lain berpendapat bahwa pemulihan ekonomi dapat terjadi apabila solusi atas persoalan ini — yaitu vaksin — ditemukan dan dapat digunakan secara luas.
Kesimpulan

Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, perbedaan muncul dari latar belakang masalah, dampak, dan penanganannya.
Dari sisi latar belakang, krisis 1998 terjadi karena permasalahan keuangan di Asia. Sementara, krisis 2008 terjadi karena masalah keuangan global yang bermula di Amerika Serikat.
Sedangkan krisis ekonomi 2020 terjadi karena pandemi virus corona atau COVID-19. Penyebaran virus membuat keselamatan manusia terancam, sehingga aktivitas ekonomi tersendat.
Dampaknya pun berbeda, di mana krisis 1998 dan 2008 fokus pada dampak ekonomi. Krisis 2020 tidak hanya ekonomi, namun juga kesehatan masyarakat.
Maka, penangangan yang dilakukan adalah dengan mengeluarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Sayangnya, kebijakan ini justru menekan perekonomian.
Masalahnya, tekanan ekonomi yang muncul akibat pandemi corona tidak hanya menekan kalangan tertentu, namun seluruh masyarakat. Mulai dari rumah tangga hingga pelaku usaha.
Oleh karena itu, kebijakan yang diambil pun harus bisa menjangkau semua kalangan. Misalnya, restrukturisasi kredit tidak hanya untuk pengusaha skala besar; namun juga Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Begitu pula dengan insentif, tidak bisa hanya menjangkau pelaku usaha, namun juga rumah tangga dalam bentuk bantuan sosial (bansos).
Di sisi lain, pemerintah perlu terus memutar otak untuk memenuhi kebutuhan anggaran agar bisa menjalankan berbagai kebijakan penanganan dampak pandemi corona. Dampaknya pun harus siap dihadapi, yaitu defisit anggaran melebar sampai ke kisaran 6,07 persen pada tahun 2020 ini.
Salah satunya dengan cara mengandalkan pembiayaan yang lebih banyak berasal dari dalam negeri sendiri. Sebab, pasar keuangan global tengah bergejolak.
Selain itu, pemerintah juga mengandalkan bantuan Bank Indonesia (BI) untuk ikut membeli surat utang di pasar perdana. “Peran lembaga keuangan multilateral dan bilateral juga sangat penting dalam memberikan pinjaman dengan bunga yang rendah,” pungkasnya.
“Kekecewaan itu harus kita salurkan dengan bekerja lebih baik lagi dan bekerja keras untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi.” — Sri Mulyani, Menteri Keuangan Indonesia ke-26
